Sabtu, 17 Maret 2012

[One-shot] 7 years of love


Author : Elfishysparkyu


Genre : Romance 


Cast     : Lee Donghae x Im Yoona x Cho Kyuhyun x Tiffany Hwang

Length : oneshoot,

Title : 7 years of love

Note : Judulnya pasaran banget yah? Hehe, ff udah jadi tapi bingung nentuin judul. Ya udah asal comot aja itu lagunya si Gaemgyu meskipun yakin ada bejibun fanfic dengan judul yang sama. Happy reading aja deh. Maklumi kalau isinya juga pasaran.


7 years of love

Kau dan aku tercipta untuk saling melengkapi, bukan untuk saling membenci.
Kenapa tanpa sadar kita justru saling menyakiti?

“Semakin lama aku semakin tidak mengenalmu. Kau bukan seperti Im Yoona yang dulu kukenal.”

“Aku rasa juga begitu. Kau dan aku hanya dua orang asing yang kebetulan pernah saling mencintai.”

“Mwo?”

Donghae berdecak tak percaya. Kebetulan katanya? Yoona sungguh keterlaluan. Mantan pacarnya itu mengatakannya dengan begitu enteng. Benar-benar tidak punya perasaan.

“Bagaimana kabarmu?” ia memilih lebih melunak. Mencari topik pembicaraan lain mungkin lebih baik.

“Aku baik.” jawab Yoona singkat. Ia masih asyik menikmati makan siangnya.


Sementara Donghae justru belum menyentuh makanannya sama sekali. Makan siang bersama mantan pacar setelah dua tahun tidak bertemu malah membuatnya tak berselera. Ia lebih tertarik pada hal lain, gadis di depannya itu.

“Kau tidak menanyakan kabarku?” tanyanya.

“Aku lihat kau baik-baik saja.” kini Yoona mulai menyeruput orange jus miliknya.

Gadis itu terus saja bersikap acuh. Donghae sedikit frustasi dibuatnya.

“Aku masih belum percaya kau kembali setelah dua tahun berlalu. Lebih tidak menyangka lagi ternyata sekarang kita bertetangga.”

“Itu juga kebetulan. Aku tidak tahu kenapa appa memutuskan membeli rumah tepat di depan rumahmu. Jadi jangan pernah berpikir kalau aku masih berharap padamu.”

Donghae mengekeh pelan. Percaya diri sekali gadis itu. “Sekarang kita bisa mulai jadi teman baik.” tawarnya.

“Boleh. Aku harus pergi sekarang. Kau yang mentraktirku kan Donghae-ah?” Yoona lebih dulu tersenyum manis sebelum menenteng tasnya dan melenggang pergi dengan riang.

Donghae terus berdecak heran. Tadi Yoona memanggilnya apa? Donghae-ah? Hei, kemana panggilan oppa yang dulu tersemat untuknya?

Berkali-kali ia pikir pun rasanya semakin tidak masuk akal. Aish, kenapa ia harus segusar ini saat Yoona tidak lagi memanggilnya oppa?

 
* * * * *

Aku mengingatmu bukan berarti mengenangmu.
Aku mimpikanmu bukan berarti kau khayalanku.
Percayalah, kau pasti akan kugapai lagi dalam kehidupan nyataku.


Donghae tampak sibuk menekuri buku di tangannya. Duduk seorang diri di kursi kayu taman kecil rumahnya. Saat sebuah audy hitam perlahan terhenti tepat di depan rumah Yoona.

Yoona terlihat keluar dari mobil itu bersama seorang namja. Siapa? Tiba-tiba Donghae merasa sangat ingin tahu. Ia terus memicingkan matanya penasaran.

Keingintahuannya itu membuatnya bertingkah konyol. Ia lekas mengendap-ngendap lalu bersembunyi di balik pagar agar bisa melihat lebih dekat.

Namja itu ikut masuk ke rumah Yoona. Siapa? Ada hubungan apa dengan Yoona? Apa ia kekasihnya? Heh? Jadi Yoona sudah punya kekasih? Donghae terus ricuh menerka-nerka sendiri.

“Donghae oppa, apa yang kau lakukan?”

Donghae terhenyak kaget saat tiba-tiba Tiffany menepuk pundaknya.

“Fany-ah, kenapa kau bisa ada di sini?”

“Kau lihat apa Donghae oppa?” Tiffany ikut celingukan. Ia penasaran karena tingkah Donghae begitu aneh.

“Tidak apa-apa.” tergesa Donghae menarik lengan Tiffany agar gadis itu tidak bertanya lagi. Ia terus menyeret Tiffany menuju rumahnya.

“Donghae oppa, aku ingin mengajakmu pergi jalan-jalan.”

“Aku sedang sibuk.”

“Sibuk apa? Sejak tadi kau terlihat seperti orang tidak punya kerjaan.”

“Aku sedang malas keluar.”

Donghae memilih kembali melanjutkan aktifitas membacanya. Kali ini di teras rumah. Sambil sesekali masih mencuri pandang ke arah rumah Yoona.

Jelas saja itu membuat Tiffany mendesah kecewa. Ia jadi merasa bosan karena Donghae terus mengabaikannya.


Bagaimanapun, perhatian Donghae sebenarnya tengah tertuju ke tempat lain. Buru-buru ia menutup buku di tangannya saat terlihat Yoona mengantar namja tadi keluar. Sepertinya ia akan pulang. Masih sempat Yoona melambai manis pada namja itu saat mobilnya melaju pergi. Apa mereka memang punya hubungan istimewa?
Tunggu, kenapa Yoona sekarang justru melangkah ke rumahnya sambil menenteng kantong plastik? Entah apa yang dibawa gadis itu. Donghae kelimpungan sendiri saat Yoona semakin mendekat.

“Wae?” heran Yoona, sadar Donghae terus menatapnya aneh.

“Kau mau apa?”

“Mau memasak bersama eomma.” Yoona menunjuk tas plastik di tangannya. “Aku punya daging sapi dan mau memasaknya di sini.” lanjutnya terus melangkah riang. “Annyeong Fany-ah.” masih sempat ia lebih dulu menyapa Tiffany.

Donghae semakin terheran-heran. Ada apa dengan gadis itu? Bisa-bisanya masih memanggil eomma pada ibunya dengan begitu lugas.

Sementara Tiffany agak risih dan kesal sendiri. Ini baru kali kedua ia bertemu Yoona. Dan gadis itu menyapanya begitu akrab seakan mereka telah kenal lama. Ditambah lagi Yoona ternyata dekat dengan nyonya Lee bahkan sampai memanggilnya eomma. Padahal ia yang terus berusaha mendekati wanita yang melahirkan Donghae itu. Tapi hasilnya nihil, ia dan nyonya Lee tetap tidak akrab sampai sekarang. Memenangkan hati ibu dan anak ternyata sama sulitnya.


* * * * *

“Cho Kyuhyun?”

Nyonya Lee terbahak setelah mendengar satu nama itu. “Dia kekasihmu?”

Yoona lekas menggeleng. “Anio, kami hanya teman. Dia tetanggaku saat di Jinan. Lalu saat aku kembali ke Seoul tidak tahunya dia juga pindah ke Seoul.”

“Sepertinya dia sengaja mengikutimu.”

“Itu tidak mungkin eomma.” sangkal Yoona yakin. Tapi kemudian ia ragu sendiri. “Bagaimana kalau itu benar?”

Lagi-lagi nyonya Lee tertawa pada sikap plin plan Yoona itu. “Apa kau menyukainya? Dari yang kau ceritakan sepertinya dia menyukaimu?”

“Dia teman yang baik, hanya itu.”

“Yah, kurasa dia belum memenangkan hatimu.” goda nyonya Lee.

“Ne, tidak mudah mengambil hati seorang Im Yoona.” Yoona ikut menanggapinya dengan bercanda.


Ia senang bisa berbagi cerita pada nyonya Lee. Ia memang sangat dekat dengan wanita itu sejak ia dan Donghae masih berpacaran. Kenyataan bahwa ia tidak punya ibu dan Donghae tidak punya ayah, itulah yang membuat mereka saling melengkapi kekosongan masing-masing. Yoona lekas menepis pikiran akan masa lalunya itu.

“Eomma, apa Tiffany-ssi kekasih Donghae oppa?” tanyanya.

“Tidak, tapi gadis itu memang menyukai Donghae.”

Lalu mengalunkan cerita nyonya Lee akan sosok Tiffany. Bukan hanya itu, mereka terus saja bercerita akan banyak hal. Layaknya seorang ibu pada anak perempuannya.

Itulah yang Donghae tangkap. Sejak tadi ia terus menguping pembicaraan Yoona dan ibunya. Ia pura-pura asyik menonton televisi padahal pandangannya tidak fokus di sana.

Kadang ia mengulum senyumnya, kadang ia memanyunkan bibirnya. Apalagi saat menemukan satu nama, Cho Kyuhyun. Apa ia namja yang mengantar Yoona tadi? Sepertinya begitu.


* * * * *

“Mianhae, aku tidak bisa main catur. Aku hanya bisa main starcraft.” sesal Kyuhyun. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sungguh memalukan ia harus mengatakan ini di depan ayahnya Yoona.

Dalam hati Donghae tertawa puas. Ialah yang sejak tadi menjadi lawan main catur tuan Im. Sekarang ia bisa sedikit sombong.

“Tak apa Kyuhyun oppa, kau mengobrol denganku saja. Catur hanya permainan kakek-kakek.” cibir Yoona.

Tentu saja Donghae merasa tersindir. Sekilas ia sempat melirik Yoona tajam.

Kyuhyun tersenyum kecil. “Bagaimana? Apa kau sudah memperoleh pekerjaan yang kau inginkan?”

“Ne, di butik Taeyeon onnie. Dia sunbaeku waktu SMA. Aku beruntung bisa bekerja padanya.”

“Mwo? Kau bekerja di butik Taeyeon?” sambar Donghae cepat.

“Ne, kenapa?”

“Tidak apa-apa.” sanggah Donghae. Ia kembali berkonsentrasi pada permainan caturnya. Taeyeon? Gadis itu berperan besar pada hubungan mereka dulu. Taeyeon lah yang menjodohkan Yoona dan Donghae hingga mereka berpacaran. Sampai kapanpun tentu ia tidak akan melupakan hal itu.

“Bukankah Taeyeon yang mencomblangkan kalian?” tuan Im mengekeh pelan. “Kudengar sekarang dia sudah menikah. Tapi hubungan kalian justru kandas di tengah jalan.”

Donghae hanya mengulum senyumnya. Sementara Yoona tenggorokannya terasa tercekat hebat. Ia melirik Kyuhyun, namja itu tampak kurang nyaman.

“Appa, jangan membicarakan masa lalu.”

“Siapa yang membicarakan masa lalu? Appa membicarakan Taeyeon. Dia sudah menikah, sebentar lagi pasti punya anak.”

“Appa, kenapa jadi membahas anak?”

“Kau bilang catur permainan kakek-kakek kan? Benar, appa memang kakek-kakek yang kesepian karena tidak punya cucu.”

“Mwo?” Yoona memekik tak percaya. Kenapa ayahnya itu mulai bicara ngawur?

Ia melirik Kyuhyun, namja itu tampak semakin gusar.

“Yoona-ah, aku harus pulang. Ada hal penting yang harus kukerjakan.” pamitnya. Lekas Kyuhyun berdiri sambil membungkuk sekilas pada tuan Im.

Segera Yoona mengikuti Kyuhyun untuk mengantarnya keluar.

“Skak-mat ahjussi.” ucap Donghae pelan. Ia tersenyum puas setelahnya.

“Mwo? Bagaimana mungkin aku kalah lagi?” tuan Im mengkerutkan keningnya. Namun tak berapa lama ia ikut tertawa riang, tepat saat Yoona kembali duduk diantara mereka.


* * * * *

“Kudengar kau dan Donghae-ssi sempat berpacaran lama.” ujar Kyuhyun hati-hati. Ia terus mengemudikan mobilnya pelan setelah menjemput Yoona dari tempatnya bekerja.

“Kurang lebih tujuh tahun.”

“Mwo? Selama itu?” sedikit kaget Kyuhyun dengan jawaban Yoona.

“Ne, sejak aku kelas 1 SMA hingga aku lulus perguruan tinggi. Tapi kami sempat putus nyambung beberapa kali.”

Kyuhyun mengangguk. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Pantas saja Donghae dan tuan Im tampak begitu akrab. Mereka pasti sudah kenal dekat.

“Lalu kenapa kalian akhirnya putus?” selidiknya.

“Kepindahanku ke Jinan.”

“Aku iri dengan Donghae-ssi. Begitu lama dia berhasil menguasai hatimu.”

“Itu hanya masa lalu. Sekarang semua tak lagi berarti apa-apa.” Yoona tersenyum getir. Kenapa jauh dalam lubuk hatinya ia tak rela mengatakan ini?

“Kalau begitu maukah kau memberi kesempatan padaku? Aku juga ingin menjadi orang yang singgah di hatimu.”

Yoona terus tercengang ragu. Ia harus menjawab apa sekarang? Meski terasa begitu berat, perlahan akhirnya ia mengangguk.

“Ne.” ucapnya lirih. Ini bahkan tidak sesuai dengan nuraninya.

Senyum lega seketika terukir di bibir Kyuhyun. Sementara Yoona hatinya justru semakin mencelos hampa.


* * * * *

“Jadi bagaimana? Apa artinya kau dan pemuda bernama Kyuhyun itu resmi berpacaran?”

Pertanyaan nyonya Lee itu seketika membuat Donghae tersedak. Padahal yang ditanya adalah Yoona.
Lekas ia minum air putih di atas meja untuk mengurangi kagetnya.

“Donghae oppa, kau ini kenapa?” sahut Tiffany heran.

Donghae tidak menjawab. Ia terus menatap Yoona lekat. Menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir gadis itu.

Sementara Yoona masih asyik menikmati makan malamnya. Makam malam bersama keluarga Donghae saat ayahnya belum pulang menjadi kebiasaannya kini. Kehangatan yang ia terima dari nyonya Lee tidak lagi membuatnya canggung saat terus-terusan harus bertemu Donghae.

“Aku tidak tahu eomma. Aku hanya memberinya kesempatan untuk membuka hatiku. Apa artinya kami berpacaran?”

“Mwo?” lagi-lagi Donghae tercengang sendiri. Ia terus berdecak tak percaya.

“Saat ini aku sendiri bingung dengan perasaanku eomma.” lanjut Yoona lagi.

“Kau mencintainya tidak?” nyonya Im tersenyum kecil. “Kau tidak akan bingung jika cinta itu ada diantara kalian.”

“Entahlah.” hanya jawaban singkat itulah yang mampu Yoona tuturkan.

“Fany-ah, ayo kuantar pulang.” ujar Donghae tiba-tiba. Meski begitu ia terus menatap Yoona tajam. Ada amarah yang coba ia sembunyikan meski masih kentara samar-samar.

“Mwo?” Tiffany mengerjap bingung.

“Atau kau mau kemana? Aku akan mengantarmu kemanapun kau mau. Hari ini aku akan menuruti apapun maumu.” tetap saja Donghae tak bisa melepas pandangannya dari Yoona.

Tapi sikapnya itu tentu saja membuat Tiffany melonjak riang. “Bagaimana kalau kita pergi nonton film? Atau kita ke pasar malam?”

“Terserah kau saja.” tanpa aba-aba Donghae lekas menarik tangan Tiffany. Secepatnya ia ingin segera pergi dari sana. Rasa dendam mulai mengikis akal sehatnya.

Melihat yang dilakukan Donghae itu, Yoona hanya bisa mengulum senyumnya. Lengkungan di bibirnya memang terlihat jelas. Tapi ada rasa perih yang kasat mata terus menyayat hatinya.

“Donghae tidak serius dengan gadis itu.”

“Ne?” tertegun Yoona dengan penuturan nyonya Lee.

“Seorang ibu pasti tahu kapan anaknya jatuh cinta. Dan eomma yakin Donghae tidak punya perasaan apapun pada Tiffany. Cara dia menatap Tiffany, memperlakukan gadis itu, semua terlihat datar tanpa arti.”
“Benarkah eomma?” segera Yoona meneguk sedikit air putih untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Ia tak mampu lagi menutupi rasa lega yang tiba-tiba menyeruak di dada.

Tapi kenapa Donghae bersikap seperti tadi? Apa ia sengaja?












Hah, Yoona mendesah panjang. Dan kini berganti rasa resah yang menggelayutinya.
Kenapa harus muncul perasaan ini?
Kenapa ada rasa tidak rela?
Kenapa ia merasa begitu kecewa?
Sekuat tenaga ia coba menepis rasa aneh yang terus berkecamuk dalam benaknya ini. Tapi nyatanya tetap tak bisa.
Lalu ini artinya apa?


* * * * *

Pejamkan matamu lalu sebutlah namaku.
Apa getaran itu masih terasa?

Seperti namamu yang terus bertahta dalam debaran jantungku.
Jika kau pergi dari sana maka itu lebih buruk dari aku kehilangan nyawa.


Donghae melangkah tertatih memasuki rumahnya. Ia sedikit lelah setelah tadi sempat minum di bar bersama Tiffany.

Kini ia memicingkan matanya. Rasanya ia belum terlalu mabuk, tapi kenapa penglihatannya terus menangkap sosok Yoona?

Gadis itu tertidur manis di atas sofa. Apa ini mimpi? Ia bahkan tidak sedang tertidur.

“Kenapa kau baru pulang?”

Pertanyaan dari ibunya itu kontan membuat Donghae tersadar dari kebingungannya.

“Eomma… “

“Ayahnya sudah pulang tapi eomma tidak tega membangunkannya.” rupanya nyonya Lee paham kemana maksud Donghae mengarah.

Jadi benar itu Yoona. Donghae tersenyum sendiri menyadari ia tidak sedang berkhayal.

“Lalu bagaimana? Apa dia akan dibiarkan tidur di sofa sampai pagi?”

“Kalau begitu pindahkan dia ke kamar.” perintah nyonya Lee.

“Mwo? Anio eomma, nanti dia bisa bangun lalu marah padaku.”

“Lalu bagaimana lagi? Kau temani dia di sini. Eomma mengantuk sekali.”

Donghae terus terbengong heran. Sepeninggal ibunya ia masih terus terpaku ditempatnya berpijak.

“Yoongie..” desisnya tertahan. Perlahan ia melangkah mendekati Yoona lalu sejenak merapikan selimutnya.
Ia sendiri lebih memilih mengambil kasur lantai lalu menggelarnya tidak jauh dari tempat Yoona berada.
Malam terus bergulir semakin larut, Donghae masih saja membolak-balik tubuhnya gelisah. Kenapa ia jadi tidak bisa tidur?











Sesekali ia melirik Yoona, gadis itu tampak begitu nyenyak.

Diam-diam ia terus memperhatikannya lekat.

Segera ia bangun lalu beranjak ke dekat Yoona. Ia duduk bersimpuh di lantai di sisi sofa tempat dimana Yoona tidur.

“Yoongie, apa kau tahu kalau selama ini aku begitu merindukanmu?” bisik Donghae lirih. Tentu saja ia berucap pelan agar Yoona tidak terbangun.

“Kemana Yoongieku yang dulu? Yoona yang selalu ceria. Yoona yang selalu tertawa. Kenapa sekarang kau bersikap seolah-olah kau orang asing bagiku?”

“Aku merasa tidak ada masalah serius dalam hubungan kita. Berakhirnya hubungan kita karena kepindahanmu ke Jinan. Bukankah hanya itu?” Donghae terus saja bicara sendiri.

“Kau tahu Yoongie? Dua tahun ini hidupku begitu hampa tanpamu. Lalu saat kau kembali, kau justru terus mengabaikanku. Apa kau tahu? Itu sangat menyakitkan bagiku.”

“Jangan terus menyiksaku Yoongie. Aku tidak ingin tujuh tahun yang sempat terjalin antara kita menguap tanpa arti. Aku tidak akan pernah rela.” Donghae tertawa getir. Kenapa ia jadi semenyedihkan ini?

“Semua tak lagi sama.”

Donghae lekas menoleh. Ia yakin tuturan itu keluar dari mulut Yoona. Gadis itu membuka matanya, ia terbangun.Cepat Donghae menggeser duduknya mundur. Begitupun Yoona, ia beralih ke posisi duduk di sofa.

“Semua sudah berbeda. Kau bersama Tiffany dan aku ada Kyuhyun oppa.” sekilas Yoona melirik jam tangannya. “Aku harus pulang, mianhae sudah merepotkan.” buru-buru ia pergi tanpa memberi kesempatan Donghae berucap sepatahkatapun.

Dan Donghae tetap terdiam kalut. Dalam satu sisi hatinya ia senang berarti Yoona mendengar semua yang ia katakan. Meski itu tak akan mengubah apapun.


* * * * *

Jika bersamamu adalah harapan, maka memilikimu adalah keharusan.
Kumohon kembalilah padaku agar dalam hati kecil ini tidak terus tersisa penyesalan.



Donghae terus terdiam gusar. Duduk di tempat kesayangannya. Bangku kayu di taman rumahnya yang tepat menghadap rumah Yoona.

Kemana gadis itu? Kenapa beberapa hari ini Donghae tak pernah melihatnya? Apa Yoona memang sengaja menghindar?

Apa karena kejadian malam itu? Donghae terus merutuki dirinya sendiri. Ia jadi merasa sangat bodoh. Ia menyesal kenapa malam itu ia harus bicara banyak hal pada Yoona. Dan efeknya sekarang gadis itu menjauh darinya.

Baru saja ia akan beranjak pergi. Saat audy hitam yang ia tahu milik Kyuhyun perlahan terhenti.
Ternyata benar mereka pergi bersama. Jelas terlihat Yoona keluar dari sana diikuti Kyuhyun. Apa yang dilakukan namja itu? Kenapa ia ikut turun? Apa pantas bertamu malam-malam? Donghae terus saja mengumpat sendiri.
 
Tapi ternyata dugaannya salah. Kyuhyun hanya mengantar Yoona sampai ke depan pagar rumahnya.
 
“Gomawo Kyuhyun oppa.”

Yoona baru saja akan melangkah masuk tapi Kyuhyun menahannya.

“Yoona-ah.” panggilnya pelan. Ia meraih tangan Yoona lalu menggenggamnya erat.

Kyuhyun terus mempersempit jarak antara ia dan Yoona. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Yoona tahu betul apa niatan Kyuhyun, tapi ia bingung harus berbuat apa.

Dan sialnya Donghae melihat itu semua. Ia terus mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ada amarah yang berdesir hebat dalam setiap aliran darahnya.

Sadar Kyuhyun benar akan menciumnya, Yoona justru mundur satu langkah. Tepat saat itu juga ia mendapati keberadaan Donghae yang terus memandangnya sayu.

“Mianhae Kyuhyun oppa.” Yoona menunduk dalam. Meski begitu sesekali ia masih melirik keberadaan Donghae. Raut getir namja itu membuat ulu hatinya terasa sesak.

“Ne, aku tahu. Masuklah, selamat malam Yoona-ah.”

Untunglah Kyuhyun mengerti. Mungkin Yoona belum siap, itu pikirnya. Ia segera masuk mobilnya dan melesat pergi.

Sedang Yoona terus terpaku di tempatnya. Ia masih tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Berkaca-kaca ia memandang Donghae yang tak kalah nanar menatapnya.

Lama mereka dalam posisi itu. Saling pandang dalam kekalutan hati masing-masing.

Hingga Donghae tak tahan lagi untuk terus berdiam diri. Perlahan ia melangkah menghampiri Yoona. Tanpa pikir panjang, ia segera merengkuh gadis itu dalam pelukannya.

Kali ini tidak ada penolakan di sana. Yoona justru semakin terisak samar. Harus ia akui, ia begitu merindukan pelukan ini. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menghirup aroma tubuh ini. Bahkan tanpa sadar ia pun ikut mengeratkan pelukan Donghae padanya.


* * * * *

Jika kita tak bisa lagi bicara lewat kata-kata, bicaralah lewat hati dan pandangan mata.
Hati memang tak sanggup berucap, tapi hati takkan mampu berdusta.
Yakinlah dalam setiap desirannya masih tersimpan rasa cinta antara kita.


Dua orang itu terus terdiam dalam pekatnya malam. Duduk berdua meski terlihat saling menjaga jarak. Hanya remang-remang lampu taman rumah Donghae yang setia menemani.

“Seharusnya aku tidak pernah memberi harapan pada Tiffany jika aku tak mungkin mewujudkannya.” Donghae bergumam pelan. “Dia datang tepat saat kau pergi. Jujur saja, kupikir dia bisa mengisi kekosongan hatiku. Tapi rupanya aku salah. Sampai saat ini ruang hatiku tetap kosong sejak kepergianmu. Meski kini kau kembali, nyatanya kau mencintai orang lain.”

Yoona menggeleng yakin. “Anio, aku tidak pernah mencintai Kyuhyun oppa. Kyuhyun oppa orang yang baik. Itu yang membuatku terus bersimpati padanya.” tidak ada salahnya jika sekarang ia berusaha untuk jujur.

Seketika Donghae meliriknya tajam. Agak ragu dengan penuturan Yoona tadi.

“Aku tidak pernah mencintai Kyuhyun oppa.” ulang Yoona lagi.

“Lalu?” Donghae terus mengerjap tak percaya. “Lalu hubunganmu dengannya saat ini?”

“Aku tidak tahu. Dia ada saat aku sedang terpuruk. Masalah perusahaan appa membuatku hampir putus asa. Aku seperti orang kehilangan harapan. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti appa. Jinan, sebuah kota yang sangat asing. Aku benar-benar memulai dari bawah. Saat itulah Kyuhyun oppa datang. Membantu mencarikanku pekerjaan. Dan banyak hal lain yang dilakukannya. Aku sungguh berterimakasih padanya.”

“Dan aku justru tidak berbuat apa-apa untukmu. Aku bahkan tidak tahu apa-apa.”

“Mianhae, aku memang sengaja tidak ingin melibatkanmu.”

Donghae tersenyum sinis. “Itu membuatku merasa sangat tidak dianggap. Kau bahkan lebih memilih merepotkan orang lain dibanding aku? Menyedihkan.” desisnya.

“Bukan seperti itu. Kebetulan saja saat di Jinan dia orang yang banyak memberiku bantuan. Aku merasa berhutang budi padanya. Kini saat keadaanku kembali membaik aku tidak mungkin melupakan jasa-jasanya begitu saja.”

“Dan kau membalas jasanya dengan menjadi kekasihnya? Kisahmu seperti sebuah dongeng Im Yoona.” Donghae tersenyum getir. “Seorang pangeran menolong tuan putrinya dan berakhir dengan mereka hidup bahagia selamanya.” lanjutnya miris.

“Kau tidak mengerti Donghae oppa.”

“Ne, aku memang tidak mengerti. Aku hanya orang bodoh yang sempat singgah dalam drama kisah cintamu. Aku hanya bagian dari masa lalumu yang pelan-pelan kau lupakan dan tersisih tanpa arti.” Donghae semakin emosi dalam kata-katanya.

“Sebenarnya aku bahkan tidak bisa melupakanmu meski aku mati-matian mencobanya.” suara Yoona serasa tercekat hingga nyaris tak terdengar saat berucap ini. Diiringi pula krystal bening yang mulai mengalir pelan dari pelupuk matanya.

“Mwo?” sedikit tidak percaya Donghae dengan pendengarannya sendiri.

“Aku tidak pernah bisa melupakanmu Donghae oppa.” ulang Yoona lagi dengan berurai airmata.

“Kalau begitu jangan pernah melupakanku Yoongie. Tetaplah mengingatku seperti aku yang terus mengingatmu. Andai bisa, aku ingin menghapus dua tahun kebelakang dimana kau dan aku terpisah. Itu adalah saat yang paling sulit dalam hidupku.”

Dan kini Yoona tak mampu lagi membendung tangisnya. Perkataan Donghae semakin membuatnya menangis tersedu-sedu.

“Dulu aku bahkan tidak pernah membuatmu menangis seperti ini.” lekas Donghae seka airmata Yoona pelan.
Baginya Yoona tetaplah gadis yang sama. Kebersamaan tujuh tahun dan terpisah dua tahun rasanya belum cukup untuk mengubah segalanya.

Lalu kenapa mereka masih saja saling mengelabuhi?


* * * * *

Aku terus berdoa dalam bayang-bayang malam.
Mengukir satu nama dalam ucap lisanku.
Berharap ku akan mendekapmu dalam keabadian.
Karena hanya kau pujaanku.


Donghae menghirup udara dalam-dalam. Membiarkan oksigen merasuki paru-parunya, menahannya sejenak lalu menghembuskannya pelan. Ia tersenyum lebar menatap pemandangan yang terhampar dihadapannya.
Tepat didepannya berdiri kokoh dua pohon maple yang sudah sangat tua. Ditengah antara dua pohon itu ada sebuah bangku kayu panjang yang dulu menjadi tempat favoritnya bersama Yoona.

Dan sekarang ia ada disini bersama gadis itu. Yoona, itulah sumber kebahagiaannya yang tak terkira.
Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Yoona. Gadis itu tampak begitu senang memunguti daun-daun maple yang berserakan di tanah lalu menghamburkannya ke udara. Kebiasaan yang dulu sering ia lakukan setiap musim gugur seperti ini.

Donghae tersenyum sendiri, Yoona jadi terlihat seperti anak kecil jika bertingkah seperti itu, manis sekali.
“Aku sangat merindukan tempat ini.” gumam Yoona pelan. Matanya terus terpaku pada pohon maple yang satu per satu daunnya perlahan berguguran.

“Hanya tempat ini? Tidak merindukan orang yang selalu mengajakmu kesini?”
Yoona tentu tahu apa maksud Donghae tapi ia enggan menjawab. Ia terus mengulum senyumnya sambil melangkah pelan ke arah bangku kayu.

Namun baru beberapa langkah, Donghae lebih dulu menyambar tubuhnya. Mendekapnya erat, memeluknya dari belakang.

“Aku sangat merindukanmu Yoongie.” tahu Yoona hanya diam, Donghae lekas menaruh dagunya diatas pundak gadis itu. “Kembalilah menjadi Yoonaku yang dulu.”

Masih tertegun, Yoona sekilas terpejam. Menikmati rengkuhan Donghae padanya. Ada perasaan damai yang menyerusup di hatinya. Sensasi seperti ini sudah lama sekali tidak ia rasakan.
“Saranghae.” bisik Donghae pelan.

Yoona masih tetap terpaku. Saat nafas Donghae berhembus pelan tepat di telinganya. Ia tengah larut dalam kebimbangannya sendiri.

Dan saat perlahan Donghae membalik tubuhnya hingga mereka saling berhadapan, Yoona masih saja membisu.

Hingga akhirnya, Donghae mulai mengecap manis bibir Yoona pelan. Dan entah sadar atau tidak, Yoona juga mengimbangi ciuman Donghae padanya. Saling memagut mesra, hangat dan dalam.

“Donghae oppa.” lekas Yoona sudahi ciumannya. “Jika seperti ini akan ada banyak hati yang terluka.”
“Maksudmu Tiffany dan Kyuhyun-ssi? Aku mohon sekali saja jangan pikirkan mereka. Pikirkan kita Yoongie, hanya kita.”

“Mianhae Donghae oppa.”

“Kau mencintai Cho Kyuhyun?” baru kali ini Donghae meragu, dan itu karena sikap Yoona.
“Anio, aku mencintaimu.”

“Lalu apa masalahnya?” pekik Donghae geram, lama-lama ia mulai tersulut emosi.

“Mianhae.” hanya kata singkat itulah yang sanggup Yoona ucapkan sebelum ia berlari pergi.

Donghae pun tak kuasa untuk mencegahnya. Ia terus mematung seorang diri memandang punggung Yoona yang kian menjauh.

Membohongi hati sebenarnya adalah hal tersulit dalam romansa percintaan meski bersandiwara terasa mudah. Jika Yoona memaksa seperti itu maka semua akan bermuara pada ia yang sakit sendiri.


* * * * *

“Aku masih sangat mencintai Yoona dan terus berharap dia akan kembali padaku.”

Tiffany tersenyum getir mendengar pengakuan Donghae itu. Ia sadar betul kalau hal ini kapanpun bisa saja terjadi. Tapi tetap rasanya sakit sekali.

“Mianhae Fany-ah.” lanjut Donghae lagi.

“Kenapa minta maaf padaku Donghae oppa? Yoona-ssi memang gadis yang sangat beruntung.” Tiffany lekas tertawa riang untuk menutupi perih hatinya. “Aku ikut bahagia saat sahabatku bahagia. Semoga kau bisa mendapatkannya lagi Donghae oppa.” meski sulit, ia akan berusaha terima.

Sedikit tidak menyangka dengan tanggapan Tiffany. Sahabat? Itu yang ia sebut tadi. Donghae terus melirik gadis itu. Aura kebahagiaan memancar jelas dari wajah Tiffany meski samar terlihat kalau itu topeng belaka.
Tahu Donghae serius memandangnya, Tiffany segera berucap pelan. “Aku tidak apa-apa Donghae oppa. Cara mengobati sakit hati adalah dengan jatuh cinta lagi. Sepertinya aku akan menyusun daftar namja yang akan kuincar.” ia terbahak sendiri dengan gurauannya.

“Kau pasti akan mendapatkan namja yang terbaik untukmu.” harap Donghae.
Tiffany mengangguk. “Ne, pasti.” yakinnya.

Mencintai tak harus memiliki bukankah bualan kosong para pujangga. Mencintai adalah saat kita ikut tersenyum tulus kala orang yang dicintai bahagia. Itulah cinta yang sesungguhnya.


* * * * *

“Yoona-ah, kau tidak mendengarkanku?” seru Kyuhyun, ia berkata seperti ini karena Yoona terus saja tak menghiraukan ucapannya. Gadis itu seakan tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Ne?”

“Kau tidak mendengar yang kukatakan tadi? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” ulang Kyuhyun lagi.
Yoona lekas tersenyum. “Tidak, aku hanya sedikit melamun Donghae oppa. Kau tadi bilang apa?”

Sedikit tertegun, Kyuhyun hanya mampu tersenyum getir. Yoona salah menyebut nama dan tidak sedikitpun menyadarinya. Mungkin memang nama itu yang terus terpatri kuat dalam alam bawah sadarnya.

“Donghae-ssi.” gumamnya miris.

Kini berganti Yoona yang mematung kelu. Rupanya ia telah melakukan kesalahan fatal. “Mianhae.” bisiknya.
Entah kenapa ia tidak bisa lagi menahan airmata yang tiba-tiba mengalir tanpa instruksi. Ia menangis tersedu menumpahkan beban yang terus menghimpit dada. Ia tak peduli apa tanggapan Kyuhyun. Yang jelas beban hatinya sudah terasa sangat menyesakkan.

“Airmata adalah satu-satunya cara bagaimana mata berbicara saat bibir tak mampu menjelaskan perasaanmu yang terluka.” ujar Kyuhyun tiba-tiba. Ia sudah cukup paham kegalauan apa yang tengah menimpa Yoona saat ini.

Dan Yoona justru semakin terisak lirih. “Andai aku lebih dulu mengenalmu mungkin ceritanya akan lain.. “
“Anio.” potong Kyuhyun cepat. “Manusia hanya berperan, Tuhanlah yang menentukan kisah cinta setiap insannya. Sudah, aku tidak mau Donghae-ssi menyalahkanku karena telah membuatmu menangis.”
Yoona terus memandang Kyuhyun nanar. “Gomawo.” bisiknya.

“Kau berhak mendapatkan kebahagiaanmu Yoona-ah.” Kyuhyun menghela nafasnya pelan. Sedikitpun ia tak pernah menyesal. Ia tak pernah merasa kalah. Jika ini adalah perlombaan memenangkan hati, maka ia hanya belum beruntung saja.


* * * * *

Angin musim gugur berhembus dingin saat Yoona berjalan seorang diri. Sesekali merapatkan mantel yang membungkus tubuhnya. Sebuah lengkungan manis tak henti terukir dari bibir mungilnya. Ia terus melangkah riang untuk bertemu sang pujaan hati.

Tampak dari kejauhan Donghae merebahkan diri di kursi panjang di tengah-tengah pohon maple. Matanya terpejam, tak peduli berkali-kali guguran daun maple menerpa tubuhnya.

Tanpa ragu Yoona segera mendekat. “Kau tidur Donghae oppa?” tanyanya.

Tidak ada jawaban. Donghae hanya tersenyum tapi tidak membuka matanya.

“Jangan mempermainkanku.” ucap Yoona dengan nada pura-pura marah.

Donghae lekas tertawa lalu menarik Yoona hingga jatuh di atas tubuhnya. Ia juga masih sempat mengecup bibir Yoona kilat.

Buru-buru Yoona bangun dari posisinya. Sedikit kesal ia juga memaksa Donghae agar bangun untuk duduk bersamanya.

“Bagaimana kalau tadi ada yang lihat? Orang akan menyangka kita berbuat yang tidak-tidak disini.” Yoona terus saja menggerutu.

“Tidak akan, ini adalah tempat rahasia kita berdua.” yakin Donghae. Ia segera merangkul pundak kekasihnya itu menenangkan.

“Lalu ada apa kau memintaku datang kesini Donghae oppa? Bukankah tadi pagi kita sudah bertemu. Tadi siang kita juga makan siang bersama. Ah, aku merasa setiap detik, setiap menit, kita terus saja bertemu.”
Donghae jadi gemas sendiri dengan kecerewetan Yoona itu. “Wae? Apa kau bosan selalu bertemu denganku?”

“Anio, tentu saja aku senang.”

“Yoongie.” Donghae meraih jemari Yoona, menggenggamnya erat sambil memandangnya serius. “Aku ingin melanjutkan 7 tahun kebersamaan kita hingga 70 tahun, 700 tahun, atau 7000 tahun sekalipun aku ingin selalu bersamamu.”

Yoona tertawa kecil. “Berarti kita akan melewati berkali-kali kehidupan dan reinkarnasi.” lanjutnya asal.

“Ne. Meskipun di kehidupan mendatang menjadi pohon sekalipun, aku harap kita terus bersama. Seperti pohon maple ini. Terus berdiri berdampingan hingga usia menua.”

Tanpa sadar Yoona mulai menitikkan airmata. Ia begitu tersentuh dengan ucapan Donghae itu.

“Kenapa kau jadi cengeng sekali?” Donghae terheran-heran. Ia lekas menarik Yoona dalam dekapannya.

“Saranghae Yoongie. Sekarang, 7, 70, ataupun 700 tahun lagi dikehidupan manapun kuharap aku akan tetap mencintaimu.”

~ END ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar